18.02

Singgah Sejenak di Masjid Huaisheng

Masjid itu dibangun oleh utusan Nabi Muhammad SAW, yakni Sa'd ibn Abi Waqqas.

"Assalamualaikum," ucapan salam dari seorang wanita tua di balik pagar itu mengagetkan saya. Siang itu saya tengah kebingungan mencari-cari sebuah alamat.
"Waalaikumsalam," jawab saya. "Apakah Anda tahu di mana letak Masjid Huaisheng?" tanya saya kepada wanita itu dengan bahasa Inggris. Wanita Cina berjilbab itu lalu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia kemudian mempersilakan saya masuk. Ternyata, saya telah sampai ke tujuan.

"Alhamdulillah, sampai juga saya di masjid yang saya cari-cari itu," ujar saya dalam hati. Rimbunnya pepohonan di Guangta Lu-nama jalan tempat masjid tersebut berada-menutupi pandangan saya atas Light Tower (menara cahaya) yang menjadi ciri khas masjid tersebut.

Padahal, tinggi menara tersebut mengalahkan tinggi bangunan-bangunan di sekitarnya, yakni setinggi 36 kaki. Masjid Huaisheng adalah masjid pertama yang berdiri di negeri Tirai Bambu. Bangunan masjid itu ternyata tak semegah seperti yang saya bayangkan. Letak bangunan latarnya yang berimpitan dengan bangunan-bangunan lain bahkan membuatnya susah dibedakan dengan bangunan-bangunan di sekitarnya.

Di dalam, seorang wanita yang lebih muda menyambut saya. Sama seperti wanita tua yang saya temui di luar masjid, ia juga mengenakan jilbab. Timbullah rasa damai di hati ini setelah selama kurang lebih sepekan di Guangzhou, Cina, tak menemukan satu pun wanita berjilbab.

"Nama saya Sana Lily. Saya relawan yang bertugas di masjid ini," ujarnya dengan bahasa Inggris yang lancar. Saya kemudian memperkenalkan diri serta menjelaskan maksud kedatangan saya di tempat tersebut.

Setelah saya mengisi buku tamu, Lily kemudian mengantarkan saya menemui sang imam Masjid Huaisheng bernama Ismail. Saat itu, ia sedang berada di tempat shalat yang terletak di bagian dalam bangunan tersebut.

Sambil mengikuti wanita paruh baya tersebut, saya melihat sekeliling. Arsitektur Cina sangat mendominasi bangunan tersebut, dari bentuk atap, tembok, sampai ukiran-ukiran tulisan kanji yang ditemui di banyak sudut.

Dari sebuah papan nama di sebuah sudut bangunan tersebut, saya jadi tahu bahwa masjid tersebut-termasuk menara yang menjadi ciri khasnya-dibangun pada awal masa pemerintahan Dinasti Tang (608-907). Sempat hancur karena kebakaran, masjid tersebut dibangun kembali pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644).

"Masjid ini dibangun oleh utusan Nabi Muhammad SAW, yakni Sa'd ibn Abi Waqqas," ujar Ismail (48 tahun) bercerita kepada saya di sebuah tempat duduk yang terletak di beranda tempat shalat. Saat itu, lanjut Ismail, paman Muhammad itu membawa misi untuk berdakwah demi menciptakan masyarakat Islam di Cina.

Meskipun beberapa di antaranya meragukan kebenaran akan kedatangan Abi Waqqas, para sejarawan modern percaya bahwa para diplomat dan pedagang Islam memang datang pada masa pemerintahan Dinasti Tang.

Guangzhou saat itu merupakan kota pelabuhan yang telah bertahan selama 2.200 tahun. Oleh karena itulah, banyak orang asing yang datang dengan tujuan bisnis. Ismail mengatakan, kebanyakan dari mereka adalah para pedagang dari negara Timur Tengah.

"Awalnya, Abi Waqqas membangun Light Tower tersebut sebagai sarana untuk mengumandangkan azan. Namun, di kemudian hari menara tersebut juga berfungsi sebagai tanda untuk kapal-kapal yang hendak berlabuh di Guangzhou," ujar Ismail.

Saat ini, menara tersebut sudah tidak berfungsi lagi karena posisinya sudah tidak ideal untuk dinaiki manusia. Posisi menara tersebut saat ini mengingatkan saya pada posisi Menara Pisa di Italia yang miring beberapa derajat.

"Anda lihat sendiri, muazin sudah tidak mungkin lagi naik ke situ. Kini kami lebih memilih menggunakan pengeras suara," tutur Ismail sambil terkekeh. Ditanya soal jamaah masjid, Ismail mengatakan, tiap harinya terdapat 20 sampai 30 jamaah yang datang ke salah satu masjid tertua di dunia tersebut.

Di wilayah sekitar masjid, umat Islam memang cukup banyak, yakni sekitar 200 orang. Yang paling ramai adalah pada saat shalat Jumat. Ismail mengatakan, pada hari Jumat jamaah yang datang ke Masjid Huaisheng bisa mencapai 2.000 orang. Mereka berasal dari wilayah di sekitar Guangzhou, seperti Shenzen, Dongguan, bahkan juga dari Hong Kong.

Seorang teman seperjalanan saya ke Guangzhou mengaku heran ketika beberapa hari sebelumnya sempat merasakan shalat Jumat di Huaisheng. Ia berkata, saat itu imam masjid memimpin shalat dua rakaat sebanyak delapan kali. Hal ini langsung saya konfirmasikan ke Ismail.

Mendengar pertanyaan saya, ia kemudian menunjuk sebuah tulisan di sebuah papan nama di salah satu sudut bangunan tersebut. Tulisan berbahasa Cina tersebut di bawahnya terdapat terjemahan bahasa Inggrisnya yang berbunyi, "This is Allah your God. There is not an adorable God except him. He is the Creator of all things in the world, and you must adore Him".

Menurut Ismail, banyak jamaah shalat Jumat yang merasa takut kepada Allah, sehingga merasa perlu melakukan shalat lebih banyak dari yang sewajibnya mereka lakukan. Beberapa melakukan shalat dua rakaat tiga kali, lima kali, hingga delapan kali.

"Saya sebagai imam hanya memfasilitasi saja. Akan tetapi, pada dasarnya saya meyakini shalat Jumat sebanyak dua rakaat, sama seperti di Indonesia," tutur Ismail. "Indonesia? Anda mengenal Indonesia?" tanya saya sedikit kaget ketika ia melafalkan Indonesia dengan lancar, tidak seperti orang-orang Cina pada umumnya.

"Tentu saja," jawab Ismail. Setiap Ahad, tutur Ismail, banyak orang-orang Indonesia datang ke Huaisheng-kebanyakan berasal dari Hong Kong menggunakan dua bus besar yang berisikan masing-masing 50 orang. Tujuan mereka untuk beribadah sekaligus sekadar berbincang-bincang dengan rekan-rekan seagamanya di Huaisheng.

Ismail bahkan mengaku mengenal dua presiden Indonesia, yakni Soekarno dan BJ Habibie. Soekarno, kata dia, sempat datang ke masjid tersebut saat ia masih kecil. Namun, yang paling berkesan baginya adalah Habibie. Selain karena pernah datang ke Huaisheng, Habibie pernah mengundangnya ke istana negara saat masih menjabat sebagai presiden.

Saya melihat sekeliling. Saat itu Ismail mengenakan kopiah berwarna putih. Ia terlihat sebagai satu-satunya orang di tempat tersebut yang berbusana muslim. Hal tersebut memancing saya untuk bertanya, "Apakah anda satu-satunya imam di masjid ini?"

Ismail mengangguk. Ia hanya dibantu oleh salah seorang asisten yang menggantikannya saat ia berhalangan sakit atau yang lainnya. "Bagaimana jika keduanya mesti absen?" tanya saya.

"Di Guangzhou, kami memiliki sebuah asosiasi Islam yang terdiri dari Masjid Huaisheng dan empat masjid lainnya. Total terdapat sembilan imam. Para anggota asosiasi itulah yang menggantikan saya saat berhalangan, begitu juga sebaliknya. Saya akan menjadi pengganti saat terdapat salah satu dari mereka yang berhalangan menjadi imam di masjidnya," kata Ismail.

Di akhir perbincangan kami, saya bertanya, apakah Ismail juga melakukan dakwah seperti para ulama di Indonesia? Senyum tiba-tiba memancar dari wajahnya. Ismail mengatakan, sebagai seorang Muslim wajib baginya untuk berdakwah.

"Tentu saja saya melakukan dakwah. Akan tetapi hanya di dalam masjid. Hukum Cina melarang kami melakukan dakwah di luar masjid ini. Bahkan, kami dilarang berbicara mengenai Islam di luar masjid ini," ujarnya.

Apakah ia merasa tertekan? Ia menggeleng. Pemerintah Cina justru sangat menghormati orang-orang Islam di Cina. Hal tersebut ditunjukkan dengan cara memberi orang-orang Islam sejumlah prioritas, di antaranya adalah pengurangan pajak. Pemerintah Cina bahkan memperbolehkan anak-anak perempuan di sekolah-sekolah mengenakan jilbab.

Sana Lily, wanita berjilbab yang sedari tadi duduk di samping saya, mengangguk membenarkan. "Kami bangga menjadi orang Islam, meskipun di Cina kami jadi minoritas," ujarnya. ed; heri ruslan

sumber : http://republika.co.id:8080/koran/153/126278/Singgah_Sejenak_di_Masjid_Huaisheng

Post Terbaru

Indeks Artikel...

Langganan via Email

Alamat email Anda: