17.58

Jejak Tauladan Mereguk Kemuliaan

Fa taba’tsarat tsaqofatil Islamiyah.

Kata-kata itu diucapkan oleh seorang mulia yang menggambarkan kehidupan masa lalunya. “Pengetahuan keislaman saya telah pecah berantakan.” Demikian kurang lebih arti ungkapan di atas. Nampaknya kata-kata itu memang beralasan, melihat masa muda penulis kitab masyhur Fi Zhilalil Qur’an ini yang penuh dengan pergulatan pemikiran.

Sejak kecil, Sayyid Quthb memang hidup dalam lingkungan Al-Qur’an, bahkan sebelum beranjak remaja, beliau sudah menghafal Al-Qur’an dan merupakan pembaca yang sangat tekun.

Meskipun demikian, beliau menceritakan bahwa semenjak beliau pergi meninggalkan kampung halamannya menuju Kairo, relatif hubungannya dengan Al-Qur’an agak terputus. Berbekal intelektualitasnya, Sayyid Quthb mengambil keilmuan sastra Arab di masa kuliahnya. Ia bertemu dengan banyak ragam aliran pemikiran di Mesir. Begitulah, sepanjang berhubungan dengan para intelektual itu, tulisan beliau cenderung ‘ke kiri-kiri-an’. Bahkan Hasan Al-Banna dan Ikhwan sempat mencium nuansa liberal Sayyid Quthb dalam tulisannya yang menyerang pelaksanaan hijab di sebuah surat kabar Mesir.

Sampai pada suatu masa dalam proses pencariannya, beliau dipertemukan dengan Ikhwanul Muslimin, suatu pergerakan yang mengajak orang-orang untuk kembali kepada Islam. Dan yang melecut motivasi bergabungnya beliau adalah ketika pemimpin gerakan Islam tersebut, Hasan Al-Banna – walaupun sebenarnya mereka satu kampus, relatif satu usia namun tidak saling berkomunikasi – ditembak mati. Waktu itu beliau sedang berada di Amerika dan beliau menyaksikan orang-orang di sana merayakan kematiannya dan pesta itu membuat beliau bertanya ada apa dengan orang ini?

Dari pertanyaan itulah beliau mulai menemukan benang merah antara semangat perlawanannya menghadapi imperialisme – karena awalnya beliau dari kiri – dengan semangat menemukan metode perjuangan yang sebenarnya. Dari situlah beliau kembali kepada Isalm dan beliau mengatakan “Sejak itulah saya kembali menggali pengetahuan saya yang lama.”

Oleh karena itu, kita akan menemukan satu kalimat indah pembuka kitab Fi Zhilalil Qur’an, “Sesungguhnya yang menulis Fi Zhilalil Qur’an ini adalah seorang yang telah hidup selama 40 tahun lamanya. Melanglang buana dalam dunia pengetahuan dan kebudayaan, dalam dunia intelektual dan membaca semua yang mungkin dibaca oleh seseorang selama 40 tahun itu; membaca semua informasi dan pengetahuan yang sampai kepadanya untuk mencari solusi terbaik bagi kehidupan ini tapi kemudian ia menemukan apa yang dicarinya itu ternyata ada dalam kitab suci yang selama ini ada di sisinya tapi tidak disadarinya.” Itulah awal beliau kembali merestrukturisasi pengetahuan dan pemahamannya dan menulis ulang tentang Islam.

Dalam Naungan Al-Qur’an

Kedekatannya dengan Al-Qur’an memang telah dibina sejak beliau masih kecil. Tentang hal ini beliau menceritakan kedekatannya dengan Al-Qur’an dalam banyak momen. Dari sini kita bisa merunut bagaimana cara beliau pertama kali menemukan metode penulisan yang kemudian beliau gunakan dalam menulis “Fi zhilalil Qur’an.”

Hubungan dengan Al-Qur’an ini diawali pada saat beliau masih kecil. Beliau lahir bukan dari kalangan ulama namun cukup terpandang di daerahnya. Pada waktu-waktu tertentu khususnya di bulan Ramadhan, ibunya selalu mengadakan acara tasmi’ Al-Qur’an di rumahnya dan seluruh anggota keluarga diperintahkan untuk mendengarkan tilawah itu.

Sayyid Quthb sejak kecil terbiasa dengan suasana seperti itu dan setiap kali beliau ribut pada saat tilawah itu berlangsung, ibunya selalu menegur dan berkata, “Diam! Sesungguhnya kita sedang mendengarkan kalam suci.” Ternyata kebiasaan mendengar ini tumbuh perlahan-lahan di dalam dirinya sebagai suatu kegemaran, dan beliau menikmati pelan-pelan isi Al-Qur’an yang beliau dengarkan itu. Ini cikal bakal pertama.

Yang kedua, pertumbuhan beliau sebagai seorang sastrawan – di kemudian hari – membuatnya mampu merasakan dan menghayati dengan kuat – dan semakin kuat – nilai dan pola sastra yang ada dalam Al-Qur’an, Sayyid Quthb menciptakan teorinya sendiri tentang sastra yang berhubungan dengan Al-Qur’an.

Di antara teori sastra yang beliau rumuskan itu adalah “Nadzriyatu al-tashwiri al-fanni” (metode deskriptif dalam Al-Qur’an); bagaimana cara Al-Qur’an melukiskan sesuatu. Itu awal mula pendekatannya, dan beliau sangat tertarik dengan kata “zhilal” (bayang-bayang, naungan, kanopi) karena dari sinilah beliau merumuskan teori Nadzriyatu at tashwiri al fanni tadi.

Beliau mengatakan bahwa ternyata Al-Qur’an itu menggambarkan sesuatu dengan pendekatan deskriptif, tetapi pendekatan deskriptif yang digunakan Al-Qur’an itu selalu berusaha menyentuh seluruh sisi sesuatu yang dilukiskannya, sehingga sesuatu itu seakan-akan mempunyai ruh dan hidup. Lukisan sesuatu itu – menurut pengamatannya – terlihat secara baik dalam penggunaan pilihan kata terutama unsur bunyi yang menyangkut dalam satu kata. Dan juga penggabungan satu kata menjadi kalimat sehingga menjadi satu bunyi dan menjadi satu lirik tertentu.

Untuk membuktikan teori ini, beliau menulis buku pertama yang berjudul “At-Tashwir Al-Fanni Fil Qur’an” (cerita keindahan dalam Al-Qur’an) dan juga “Musyaahidat Al-Qiyamah Fil Qur’an” (gambaran hari kiamat dalam Al-Qur’an). Dalam buku yang kedua ini misalnya, beliau mengumpulkan semua ayat-ayat yang berbicara tentang hari kiamat lalu membuat satu deskripsi tentang beginilah cara Al-Qur’an melukiskan hari kiamat itu sehingga pemandangan hari kiamat itu menjadi sesuatu yang hidup.

Teori ini dapat disejajarkan dengan seperti halnya kita memandang satu lukisan. Ada seseorang yang sedemikian rupa bisa membuat sesuatu yang dilukis iut menjadi sesuatu yang bergerak. Teori tentang makna yang bergerak inilah yang ingin dilukiskan oleh Sayyid Quthub dalam ‘zhilal’. Makna-makna itu bergerak sehingga pemahaman tentang kiamat itu dilukiskan dengan kalimat-kalimat yang apabila kita resapi dengan baik kita akan merasakan bahwa memang seakan-akan sesuatu itu bergerak. Itulah makna ‘zhilal’... naungan yang bergerak.

Beliau menulis renungannya ini awalnya pada bentuk serial pada sebuah majalah bulanan di Mesir. Kemudian seiring dalam keterlibatannya secara lebih jauh dalam gerakan Islam, beliau dimasukkan ke dalam penjara. Di penjara itulah beliau menghabiskan sepuluh tahun terakhir masa hidupnya dengan menyempurnakan buku ‘Fi Zhilalil Qur’an’.

Proses Perenungan Mendalam dan Penulisan

Waktu-waktu yang luang di penjara digunakan dengan sangat baik oleh Sayyid Quthb untuk menyempurnakan tafsir fenomenalnya itu. Ketenangan dan keseriusan membuat Sayyid Quthb mampu menyelam jauh ke kedalaman Al-Quran. Disanlaah ia mendapatkan apa yang disebutnya sebagai ILHAM.

Proses penulisan tafsir tersebut melalui beberapa cara.

Pertama, beliau membaca setiap surat dari awal sampai akhir berkali-kali, membaca saja tanpa kembali tanpa referensi apapun juga. Sayyid Quthb mengosongkan semua fikirannya dengan pengetahuan-pengetahuannya tentang Al-Qur’an dan menjauhkan diri dari berfirikir dengan cara menggunakan wawasan pemikiran masa lalu (bi muqararat fikriyah sabiqah). Dengan menganggap kita tidak memiliki perspektif tertentu, hati dapat membaca dan merenungi Al-Qur’an dengan totalitas penghayatan, perenungan murni, tanpa kembali ke referensi apa pun.

Sehingga pembacaan surat yang beliau lakukan mungkin dibaca sekali, dua kali, sepuluh kali atau bahkan tidak terbatas sampai ia menemukan ‘ilham’. Beliau mengatakan di saat-saat beliau menemukan ‘ilham’ itu beliau seperti berada antara sadar dan tak sadar. Di saat itulah beliau menulis semua yang beliau temukan dan rasakan pada saat itu juga.

Setelah menuliskan itu semuanya barulah beliau kembali membandingkannya dengan referensi tafsir-tafsir lainnya – salah satu yang utama adalah tafsir Ibnu Katsir – lalu beliau mengatakan “Hampir-hampir saya tidak menemukan ada perbedaan:, karena “ilham-ilham” yang beliau temukan dari ayat-ayat yang kemudian beliau tulis itu ternyata akan juga ada akar-akarnya pada tafsir-tafsir lainnya. Sehingga wajar kalau kita tidak terlalu banyak menemukan referensi tafsir yang digunakan oleh Sayyid Quthub dalam buku Fi Zhilalil Qur’an.

Walaupun semua referensinya adalah referensi utama, tetapi batang tubuh dari fikiran-fikirannya itu ditemukan pada saat perenungan, proses penghayatan panjang seperti itu; sehingga tulisan yang beliau bukukan itu, “Andaikan saya berusaha untuk menulisnya kembali belum tentu saya mampu menulisnya kembali.” Inilah mengapa banyak pihak yang mengemukakan buku ini monumental.

Dalam penghayatannya seperti itu, beliau mengikuti satu metode lain, yaitu “al-wahdatu ‘udduwiyatu fi surah’ (kesatuan organik dalam satu surat). Maksudnya adalah setiap satu surat dalam Al-Qur’an itu sesungguhnya datang dari satu kepribadian yang unik dan berbeda dengan surat-surat lainnya.

Yang dimaksud kepribadian yang unik dalam satu surat itu adalah bahwa satu surat ini mempunyai satu titik fokus masalah dimana seluruh masalah-masalah yang terbahas dalam satu surat ini biasanya mengikut pada tema fokus itu. Hal yang beliau renungi sepanjang membaca ayat-ayat dalam satu surah itu adalah menemukan titik fokus – yang beliau istilahkan Mihwar as surah – sedangkan yang lainnya merupakan sub-sub tema. Beliau mengatakan, “Setiap surat merupakan satu kesatuan tematik. Tetapi ia diikat oleh sebuah tema sentral. Tema sentral inilah yang menentukan untuk ditemukan.”

Penggambaran yang paling baik tentang teori ini adalah pada saat beliau menulis tentang surat Al-Baqarah. Kita tahu bahwa tema-tema dalam surat Al-Baqarah itu sangat beragam, tetapi sebagian besar ayat-ayatnya berkisar tentang orang-orang Yahudi. Oleh karena itu beliau menyatakan bahwa tema sentral surat Al-Baqarah adalah mengajarkan kepada kaum Muslimin bagaimana mereka menghadapi orang lain dan orang lain yang perlu mereka perhatikan terutama adalah orang-orang Yahudi.

Secara lebih detail kupasan surat Al-Baqarah dimulai dengan pembagian pengelompokan manusia. Lima ayat pertama menjelaskan tentang orang-orang beriman, ayat ke-6 dan 7 menjelaskan tentang orang kafir, dan ayat ke 8 sampai dengan 20 menjelaskan tentang orang-orang munafik. Setelah itu Al-Qur’an kembali lagi memulai mengurut tentang penciptaan manusia. Sejak penciptaan Adam sampai tentang penggambaran orang-orang Yahudi dan bagaimana sikap mereka sepanjang sejarah mulai dari zaman Nabi Musa a.s. sampai orang-orang Yahudi yang ada di Madinah yang dihadapi oleh Rasulullah saw.

Begitu seterusnya, sehingga satu surat itu adalah satu penuturan yang sempurna, surat itu bertutur, bercerita tentang sesuatu. Tetapi kalau kita tidak pandai mengurut urutan-urutan itu kita tidak akan menemukan bagaimana surat itu bertutur. Apabila kita menemukan tema kepribadian dalam satu surat itu, bagaimana tiap surat itu merupakan satu penuturan yang lengkap, kita akan merasakan ini merupakan satu cerita yang lengkap dengan penghayatan integral.

Merasakan Naungan Al-Qur’an

Membaca Tafsir Zhilal, bagaikan membaca sebuah karya sastra. Di dalamnya penuh dengan ungkapan-ungkapan indah yang disarikan dari sumbernya yang sangat indah. Maka salah satu alasan kesulitan menterjemahkan karya ini adalah khawatir kehilangan nuansa ruh dan sastranya.

Sebagai karya gemilang – bagi sebagian orang dianggap berat, karena Sayyid Quthb dikenal sebagai ulama dengan karya tulisan yang sulit dipahami – kita tentu tak ingin melewati untuk juga merasakan kelezatan apa yang dirasakan Sayyid Quthb dalam penyelamannya dalam lautan Al-Qur’an. Namun kita mesti membuat agar nuansa ruhiyahnya juga dapat kita tangkap.

Pertama, buku ini sebaiknya dibaca disamping membaca buku-buku tafsir lain yang ma’tsur (populer) seperti tafsir Ibnu Katsir; maksudnya jangan dibaca sendirian. Buku ini memang memberikan kita frame, memberikan kita wawasan, memberikan kita nuansa, juga memberikan kita pengetahuan, tetapi mungkin kita perlu kembali pada sumber yang digunakan oleh Sayyid Quthb, terutama adalah tafsir Ibnu Katsir. Misalnya ketika kita ingin membaca surat Al-Baqarah di buku “Zhilal” ini, ada baiknya kita membaca surat Al-Baqarah dalam tafsir Ibnu Katsir kemudian baru membaca tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini. Sebab apabila langsung melompat ke tafsir ‘Zhilal’ ini kita tidak akan merasakan nikmatnya, karena terjadi lompatan pengetahuan.

Kedua, disamping membaca terlebih dahulu referensi tafsir lain, buku ini sebaiknya tidak dibaca satu kali, tetapi dibaca berulang-ulang; karena mungkin daya serap kita tidak sekuat penulis buku ini. Sayyid Quthb mempunyai kebiasaan untuk tidak menulis kecuali saripati pikiran saja. Beliau tidak suka untuk mengulang apa yang ditulis oleh orang lain. Beliau selalu mengatakan bahwa apa yang ditulisnya itu adalah ‘isyaratu al-fikr (jusnya pikiran, bukan buah). Supaya kita merasakan hal yang sama mungkin kita perlu mengulang-ulangi apa yang ia tulis, karena memang tujuan kita bukan untuk sekedar menamatkan saja tetapi memahaminya.

Ketiga, membiasakan diri untuk melakukan perenungan-perenungan yang sama dengan membaca Al-Qur’an – misalnya surat-surat yang tidak terlalu panjang – menggunakan metode yang sama yaitu membaca berulang-ulang sambil melakukan renungan-renungan dan biasanya kita akan menemukan ilham-ilham yang sama dan jika kita kembali membaca buku ‘Zhilal’ ini mungkin juga kita akan mendapatkan perenungan yang tidak terlalu jauh dengan Zhilal.

Keempat, sebaiknya ketika kita membaca dan menemukan ilham-ilham kita, di luar dari apa yang telah ditulis di buku Zhilal ini, sebaiknya kita tulis; karena biasanya buku yang baik mampu memberikan kita inspirasi, pemikiran dan komentar. Jika kita membacanya sekali lagi bagian yang sama dari buku ini kita akan tahu apakah kita masih menemukan Ilham seperti itu pada bacaan kedua, ketiga, dan seterusnya. Tetapi catatan tentang apa yang kita temukan berupa lintasan-lintasan pikiran itu sangat berguna membantu kita memperdalam penghayatan tetang apa yang kita baca dalam buku Fi Zhilalil Qur’an ini.

Khatimah

Demikian sejarah manusia mulia yang berinteraksi dengan kemuliaan, dan dengannya mendapatkan kemuliaan. Selalu bagaikan cahaya yang senantiasa memberikan penerangan bagi kehidupan umat manusia. Jika kemuliaan tersebut termasuk bagian dari cita-cita kita, maka jelas bagi kita jejak langkah yang harus ditapaki. Wallahua’lam bishshowab.

------
Diambil dari majalah Al-Izzah, No 9/Th.1/September 2000 M

Disalin dari : http://myquran.com/forum/archive/index.php/t-11898.html

Post Terbaru

Indeks Artikel...

Langganan via Email

Alamat email Anda: