07.34
Akhwat ke-GR-an
Ditampilkan oleh
Septa Anis | Selasa, 18 Januari 2011 |
Sebutlah Herlina (25 tahun) sedang berada di sebuah pesta pernikahan yang meriah meski sederhana. Sambil menikmati makanan, ia mengumbar cerita kepada dua orang akhwat yang ada disebelahnya. "Eh, tau enggak, ukh! Ikhwan, mempelai pria itu kan pernah proses ama ana, kali ya" Dua orang akhwat yang ada di sebelahnya hanya mengangguk-angkuk saja. Mereka tidak ingin meneruskan pembicaraan tersebut. Mungkin mereka menggangap perkataan Herlina itu tidak perlu.
Sebut pula wanda (20 tahun) belakangan ini selalu tersenyum dan gembira jika masuk kuliah. Awalnya, teman-teman wanda tidak begitu peduli dengan penyebabnya. Belakangan diketahui bahwa ia sering menerima sms tausiyah, bukan dari Aa Gym tapi dari seorang ikhwan. Seorang teman mengecek beberapa bunyi sms tersebut, seperti, "malam semakin dingin, tubuh dan tulang membeku. Jika ukhti bangun menghadap Allah, maka kehangatan akan datang."
Wanda gembira karena merasa diperhatikan. Apalagi atas nama keimanan dan ketaqwaan. Dalam sebuah majelis, Wanda menyebut ikhwan tersebut dengan "Ikhwan in, subhanallah banget ya!"
GR yang Merusak
Dua contoh diatas mungkin adalah bagian kecil dari potret rusaknya hati akibat 'gede rasa'. Herlina misalnya, merasa standarnya tinggi. Sehingga dia merasa wajar jika menolak para ikhwan yang tidak selevel dengannya. Bisa jadi dari segi umur tarbiyah, harta atau pendidikan. Baiklah, kalau hal tersebut memang hak pribadi Herlina. Tapi permasalahannya, mengapa hal tersebut harus menjadi bahan pembicaraan pubik? Apalagi di saat hari bahagia sang ikhwan. Padahal sebelumnya, Herlina justru telah menghancurkan kesempatan setengah dien-nya.
Begitu pula Wanda merasa ketaqwaan diperhatikan sampai timbul kekaguman berlebihan. Sekilas mungkin hal tersebut tidak bermasalah. SMS tersebut adalah tausiyah belaka. Bagus dan baik secara tekstualnya. Tapi buruk secara muatan dan motivasi. Jika memang ikhwan itu berniat memberi nasihat, mengapa hanya kepada Wanda? Bukankah akhwat lain juga berhak diberi nasehat? Mengapa pula tidak para ikhwan temannya saja yang diberi tausiyah? Apakah para ikhwan memang benar-benar mendirikan qiyamulail secara konsisten?
Dalam beberapa referensi, kita bisa menemukan kaitan yang lebih besar antara GR dengan sifat-sifat lain yang merusak. Sebutlah buku "Terapi Mental Aktivis Harokah' yang ditulis oleh Ustadz DR Sayyid Muhammad Nuh. Dalam buku ini dicantumkan beberapa penyakit yang bisa merusak mental para aktivis harakah. Penulis mengambil inspirasi dari buku tersebut. Terutama dalam kaitannya dalam 'GR' ini.
Pertama :
Membuka pintu ujub, ghurur dan riya. Jika ditelusuri lebih jauh, GR akan sampai pada tingkatan separah ini. Ke-GR-an pada tingkatan yang sederhana mampu membuka jalan bagi ujub agar bersemayam di hati. Secara maknawi ujub adalah kagum atau membanggakan diri dari segala sesuatu yang timbul darinya. Baik berupa perkataan namun tidak sampai meremehkan orang lain. Jika sudah meremehkan orang lain, masuk ke dalam katagori ghurur.
Selain itu GR juga bisa membawa kita menjadi riya' penyakit itu mungkin tingkatannya lebih para dari ujub. Riya membuat seorang aktivis dakwah selalu memamerkan amal shalihnya kepada orang lain dengan mengharap pamrih tertentu. Bayangkan jika penyakit itu harus muncul di dalam hati kita hanya karena sentuhan kecil berupa perhatian, sapaan atau perbuatan seorang ikhwan yang belum tentu menjadi suami kita? Kalo sudah begini apa gunanya semua amal kebaikan kita?
Kedua :
Memberi jalan menuju futur (melemah) dan ittib'aul hawa (menuruti hawa nafsu). Ini dampak yang kronis dari ke-GR-an yang memuncak. Apalagi jika kedua belah pihak sudah terjerumus dalam hal-hal yang melanggar syar'i. Maka pilihan untuk futur bukan tidak mungkin terlintas ke dalam pikiran mereka. Bahkan keluar dari sistem dakwah yang tengah dijalani.
Jika sudah begini, hari-hari yang dilaluinya adalah sekedar pemuas hawa nafsu belaka. Berlama-lama bicara berdua padahal tidak ada yang penting untuk dibicarakan, misalnya. Bukan tidak mungkin pula mereka tidak jatuh ke dalam kubangan zina yang sesungguhnya. Naudzubillah min dzalik!.
Inilah penyakit-penyakit yang bisa muncul jika memelihara ke-GR-an itu didalam hati kita. Mereka akan menjadi karat dan sulit untuk dihilangkan. Lambat laun akan menutupi kejernihan hati.
Sebagai penutup, ada sebuah cerita tentang pohon besar yang telah hidup ratusan tahun. Pohon itu sudah menghadapi berbagai cobaan besar. Pohon itu tangguh kala ditimpa badai, diterpa angin kencang, kuat di tengah hujan deras maupun bahaya kekeringan. Namun sayang setelah mengalami tantangan besar itu, pohon itu kemudian harus rusak dan tumbang karena beberapa benalu yang menempel pada dirinya. Semoga kita tidak jatuh dan sesat karena cobaan besar yang menimpa kita. Apalagi terkecoh dan menjadi bodoh hanya kerena sentuhan kecil yang menggoda.
Wallahu'alam bish shawwab.
Heni Setiawati
-------------------------
diambil dari majalah Al-Izzah Edisi 11/th.4/Jan 2005 M hal.45
disalin dari : http://nadwah.unsri.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=156:akhwat-ke-gr-an&catid=26:an-nisa&Itemid=37