22.12
MPU: Qanun Syariat Islam Perlu Disempurnakan
Ditampilkan oleh
Septa Anis | Rabu, 01 Desember 2010 |
![]() |
Masjid Baitur Rahman |
“Qanun itu perlu disempurnakan agar benar-benar sempurna dan menjadi payung hukum yang kuat bagi pelaksanaan syariat Islam di Aceh,” katanya di sela-sela Muzakarah MPU Aceh di Banda Aceh, Selasa (30/11).
Muzakarah tersebut diikuti unsur pengurus MPU, baik provinsi maupun dari 23 kabupaten/kota di Aceh. Pertemuan tersebut juga dihadiri kalangan ulama dayah atau pesantren.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Aceh sudah menerbitkan empat qanun terkait syariat Islam, yakni Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Kemudian, Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar (minumam memabukkan), Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
Menurut Tgk Muslim Ibrahim, sejak syariat Islam diterapkan di Aceh pada 1 Muharram 1423 Hijriah atau bertepatan dengan 14 Maret 2002, banyak hal yang terlihat belum diatur dalam qanun, sehingga perlu dimasukkan dalam payung hukum tersebut.
“Qanun Syariat Islam ini memang harus dan akan terus disempurnakan, tidak hanya untuk masa kini, tetapi juga di masa mendatang. Kalau dalam perjalanannya ada kekurangan, langsung diakomodir,” kata Guru Besar IAIN Ar-Raniry ini.
Ia tambahkan, penyempurnaan Qanun Syariat Islam tersebut tidak hanya mengikuti perkembangan zaman, tetapi juga menambah poin-poin penting yang terlupakan di awal penyusunannya.
“Seperti misalnya mengatur masalah perlindungan saksi. Dalam qanun itu tidak ada satu pasal pun yang menjamin terlindunginya saksi pelanggaran syariat Islam. Pasal ini sangat penting, sehingga saksi aman dari upaya intimidasi,” kata dia.
Celah hukum
Sebelumnya, saat berkunjung ke Newsroom Serambi, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh, Muhammad Yusni MH mengakui ada celah hukum yang sering dimanfaatkan para terdakwa atau terpidana perkara-perkara jinayah di Aceh. Konkretnya adalah para terdakwa dan terpidana itu bisa menghilang secara tiba-tiba tanpa terkena sanksi hukum. Ini karena, sampai sekarang belum ada ketentuan hukum acara jinayah yang mengatur bahwa tersangka, terdakwa, maupun terpidana khalwat, maisir, dan khamar, bisa ditahan.
Karena adanya celah hukum tersebut, sehingga selama ini sekitar 300 tervonis perkara jinayah (khamar, maisir, dan khalwat) di Aceh lari menjelang eksekusi cambuk dilakukan. “Saya kira ke depan, dalam qanun acara jinayah harus diatur ketentuan tentang wewenang jaksa menahan tersangka. Kalau tidak, ya seperti terjadi selama ini, banyak sekali tervonis lari menjelang dieksekusi. Akhirnya, tidak efektif hukum jinayah yang diterapkan di sini,” kata Kajati Muhammad Yusni menjawab wartawan saat bersilahturahmi ke Newsroom Serambi Indonesia, di Meunasah Manyang, Pagar Air, Aceh Besar, Kamis (25/11) pagi.
Kajati sempat menawarkan solusi agar ke depan hendaknya, sidang pamungkas perkara-perkara jinayah dilakukan pada Jumat pagi, sehingga siangnya, seusai shalat Jumat, langsung dilakukan prosesi pencambukan di depan masjid. Dengan demikian, tidak terbuka peluang lagi bagi terpidana untuk pulang ke rumah, lalu melarikan diri. “Solusi ini mudah-mudahan bisa dipertimbangkan,” kata Yusni. (ant/sup)
sumber : http://www.serambinews.com/news/view/43846/qanun-syariat-islam-perlu-disempurnakan