07.51
Pinisi ke Gaza Kurang Dana
Ditampilkan oleh
Septa Anis | Rabu, 19 Januari 2011 |
Tujuannya adalah meminang putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Pinisi dikenal sebagai kapal layar tradisional yang mampu membelah samudra ganas. Meskipun terbuat dari kayu, namun fondasi dan rangka induk dari kapal tersebut dirancang dengan sangat kuat untuk pelayaran jarak jauh.
Kekuatannya tidak kalah dengan kapal-kapal Eropa milik Christopher Colombus yang menyeberangi Atlantik hingga menemukan Benua Amerika. Ketangguhan Pinisi inilah yang akan dipinjam oleh para relawan Mer-C (Medical Emergency Rescue Committee) untuk kembali menjalankan misi menembus blokade Gaza.
"Kita punya rencana untuk berlayar dari Indonesia ke Gaza. Kita coba cari Pinisi," kata Relawan Mer-C Joserizal Jurnalis di Jakarta, pekan lalu.
Gerakan Freedom Flotilla (Armada Kebebasan) yang berisi kapal-kapal pengangkut bantuan untuk menembus blokade Israel atas perairan wilayah Gaza di Palestina, akan kembali digerakkan para relawan dunia pada akhir Mei 2011 nanti, tepat setahun setelah upaya enam kapal Freedom Flotilla I menembus perairan Gaza Mei 2010 lalu.
Serangan pasukan elite Israel atas kapal-kapal Freedom Flotilla I mengakibatkan tewasnya sembilan aktivis perdamaian di atas kapal feri Mavi Marmara yang disewa LSM IHH dari Turki. Kecaman keras dunia terhadap Israel membuat blokade atas Gaza sedikit melonggar.
Oleh karena itu, untuk kedua kalinya, pelayaran untuk pembebasan Gaza akan kembali dilakukan. Kali ini dalam armada lebih besar, bisa mencapai puluhan kapal. Jika sebelumnya relawan Indonesia menumpang kapal relawan negara lain, kali ini ketangguhan Pinisi akan coba dijajal untuk mengarungi lautan menuju Gaza.
Namun, kendala klasik masih menghadang. "Kita sudah jajaki perahu Pinisinya. Kalau duitnya ada kita langsung bergerak. Kita masih terkendala dana. Saat ini baru terkumpul Rp 2 miliar," kata Joserizal. Untuk bisa berlayar dengan menggunakan Pinisi untuk mengangkut bantuan ke Gaza, Mer-C membutuhkan dana sekitar Rp 5 miliar.
Duit sebesar itu hanya cukup digunakan untuk pelayaran sekali jalan saja. "One way ticket," ujar Joserizal. Para peserta yang nantinya bergabung dalam Pinisi tersebut harus siap dengan segala risiko. Termasuk nasib mereka untuk bisa pulang kembali ke Tanah Air.
Para penumpang armada Freedom Flotilla I diekstradisi Pemerintah Israel baik langsung maupun tak langsung. Relawan dari Indonesia saat itu ada yang diekstradisi melalui Turki dan Yordania.
Dalam perhitungan Joserizal, pelayaran dari Indonesia menuju Gaza membutuhkan waktu sekitar 45 hari. Jalur yang akan dipakai dimulai dari Jakarta, kapal kemudian berlayar menyusuri Samudra Hindia di selatan India hingga menuju ke perairan Somalia. Nah, di sinilah mereka harus waspada mengingat kawasan ini paling rawan bajak laut.
Bila lancar, kapal kemudian menyusuri tanduk Afrika ke utara masuk Laut Merah sampai Terusan Suez. Setelah melalui Terusan Suez, Pinisi akan berkumpul dengan puluhan kapal dari berbagai negara untuk membentuk armada kemanusiaan di dekat perairan Gaza, di bagian timur dari Laut Tengah.
Guna menjaring para relawan, Mer-C merangkul organisasi pecinta alam Wanadri yang akan membantu menyiapkan fisik dan mental relawan dalam menghadapi segala situasi di atas kapal. Pada misi pelayaran ini, relawan Indonesia akan membawa bantuan untuk warga Gaza dan bahan bantuan untuk proyek pembangunan rumah sakit di Gaza.
Rumah sakit merupakan salah satu proyek nyata relawan Indonesia dan pihak Kementerian Kesehatan Palestina. Rumah sakit yang rencananya dibangun dua lantai itu akan sangat membantu warga Gaza bila kembali terjadi agresi militer Israel.
Pada misi Freedom Flotilla tahun 2010, beberapa bahan bangunan sebenarnya sempat dibawa oleh para relawan. Namun, karena insiden kapal Mavi Marmara, bahan bangunan yang sedianya untuk peletakan batu pertama itu tertahan. Proses pengiriman kemudian diubah melalui jalur darat.
Saat ini semua persiapan terkait pembangunan rumah sakit itu sudah rampung. Sebanyak lima orang relawan sudah berada di Gaza untuk mengawasi proyek tersebut. Mereka akan disusul oleh tim teknis pada Februari nanti. Bulan ini Kementerian Kesehatan Palestina tinggal melakukan tender untuk menentukan kontraktor yang akan membangun rumah sakit itu.
Menggunakan kapal akan sangat memudahkan untuk membawa bahan bangunan. Akan tetapi, jika dana tidak mencukupi, para relawan ini memilih untuk kembali mengambil jalur darat dengan konsekuensi bahan bangunan yang dibawa jauh lebih sedikit.
Sejak 2007, Israel menerapkan blokade dengan ru mus matematika tertentu yang membatasi arus barang kebutuhan pokok bagi 1,3 juta warga Gaza tetap bisa masuk dengan kuantitas yang tepat sesuai yang diinginkan Israel, tak lebih dan tak kurang.
“Aturan untuk impor barang disusun sesuai keputusan kabinet yang membatasi kuantitas dan tipe barang tertentu masuk ke Gaza,” kata dokumen rahasia Israel yang dirilis awal bulan ini seperti dikutip Harian Haaretz.
Rumus itu memberikan batas atas bagi produk yang kemungkinan jumlahnya surplus dan batas bawah bagi produk yang kemungkinan jumlahnya minus. Seorang pejabat senior COGAT mengatakan bahwa batas atas praktis tak pernah terpakai. Ini berarti Gaza memang benar-benar tak pernah menikmati kelebihan bahan pokok.
sumber : http://koran.republika.co.id/koran/14/127357/Pinisi_ke_Gaza_Kurang_Dana